Minggu, 12 Oktober 2014

Penyalahgunaan Antibiotik " Menkes Akui Kerja Apoteker Kurang"




Berita Terkait
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengakui pengawasan terhadap peredaran obat dan antibiotika di Indonesia masih cukup lemah, sehingga dikhawatirkan muncul resistensi obat yang membahayakan."Antibiotika hanya boleh dijual dengan resep dokter, dokter pun harus memberikan antibiotika sesuai dengan penyakitnya dan dengan dosis semestinya. Ini yang tidak terjadi, pelanggaran-pelanggaran ini sangat disayangkan. Memang pengawasan perlu ditingkatkan," kata Menkes usai pelantikan anggota Komite Farmasi Nasional di Jakarta, Selasa.Menkes mengatakan penelitian sudah menunjukkan bahwa makin banyak terjadi resistensi terhadap antibiotika yang membahayakan karena dapat membuatnya tidak efektif lagi untuk mengobati penyakit."Ini memang telah ditindaklanjuti dengan berbagai aturan tapi ternyata tidak dilaksanakan. Saya mengajak seluruh masyarakat, seluruh jajaran kesehatan untuk betul-betul menaati peraturan yang ada dan memberikan antibiotika hanya pada tempatnya," ujar Menkes.Edukasi masyarakat disebut Menkes penting karena banyak penyalahgunaan obat dan antibiotika itu dilakukan atas paksaan dari pasien.Namun seharusnya dokter dan jajaran kesehatan lain tidak sembarangan memberikan obat dan antibiotika yang seharusnya menggunakan resep.Menkes berharap organisasi profesi dapat menegakkan aturan dengan tegas kepada para anggotanya.


Definisi Antibiotik
Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine, antibiotika dijuluki "peluru ajaib": obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut dan susunan kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika, dilihat dari target atau sasaran kerjanya:
1.Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penisilin, Polipeptida dan Sefalosporin, misalnya ampisilin, penisilin G;
2.Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone, misalnya rifampisin, aktinomisin D, asam nalidiksat;
3.Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan Makrolida, Aminoglikosida, dan Tetrasiklin, misalnya gentamisin, kloramfenikol, kanamisin, streptomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, eritromisin, azitromisin;
4.Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomisin, valinomisin;
5.Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida, misalnya oligomisin, tunikamisin; dan
6.Antimetabolit, misalnya azaserine.
Karena biasanya antibiotika bekerja sangat spesifik pada suatu proses, mutasi yang mungkin terjadi pada bakteri memungkinkan munculnya strain bakteri yang 'kebal' terhadap antibiotika. Itulah sebabnya, pemberian antibiotika biasanya diberikan dalam dosis yang menyebabkan bakteri segera mati dan dalam jangka waktu yang agak panjang agar mutasi tidak terjadi. Penggunaan antibiotika yang 'tanggung' hanya membuka peluang munculnya tipe bakteri yang 'kebal'. Oleh karena itu satu dosis lengkap atau satu cure antibiotika harus dihabiskan semuanya, walaupun kadang-kadang baru 
Terkait Penyalahgunaan Antibiotik
Beberapa jenis antibiotik yang paling sering dipakai di masyarakat berikut ini:
1.Amoxicillin.Amoxicillin merupakan antibiotik golongan penicillin, lebih spesifik lagi termasuk kelompok aminopenicillin seperti halnya jenis antibiotik populer lainnnya yakni ampicilin. Penggunaannya sangat luas, mulai dari untuk obati infeksi kulit, gigi, telinga, saluran napas dan saluran kemih
2.Cefadroxil.Cefadroxil merupakan generasi pertama antibiotik golongan Cephalosphorin, yang cara kerjanya hampir sama dengan Amoxicillin dan antibiotik lain di golongan penicillin. Penggunaannya juga sama luas, mulai untuk mengobati dari infeksi kulit hingga saluran kemih.
3.Erythromicyn.Erythromicin merupakan antibiotika golongan makrolid yang sering diberikan pada pasien yang alergi penicillin. Penggunaannya lebih luas dari penicillin maupun cephalosphorin, sehingga sering dipakai sebagai pilihan pertama untuk pengobatan pneumonia atipik.
4. Ciprofloxacin.Ciprofloxacin merupakan antibiotik golongan floroquinolon, salah satu jenis antibiotik paling mutakhir saat ini. Penggunaannya antara lain untuk mengobati infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas (sinusitis, pneumonia, bronkitis) dan juga infeksi kulit.
5. Tetrasiklin.Di kalangan pekerja seks, tetrasiklin cukup populer karena jenis antibiotika ini paling sering jadi pilihan utama untuk mengobati infeksi kelamin seperti chlamydia dan gonorrhea atau kencing nanah. Penggunaan antibiotik jenis ini mulai dibatasi, karena memicu masalah resistensi yang membuat kuman gonorrhea jadi kebal antibiotik.
Dalam prakteknya, apoteker sering menyalahgunakan haknya dengan melakukan swamedikasi obat keras non OWA. Salah satu yang sering dijual adalah obat-obatan antibiotik. Apoteker dan masyarakat sendiri beranggapan antibiotik merupakan obat yang sudah lumrah dan aman-aman saja dikonsumsi, meskipun tanpa resep dokter. Padahal dalam kemasan antibiotik itu sendiri sudah jelas terlihat tanda huruk K dalam lingkaran merah yang menandakkan itu merupakan obat keras yang tidak boleh diperjualbelikan dengan bebas. Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung hormon (obat diabetes, obat penenang, dan lain-lain). Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan.
Untuk mengatasi hal tersebut, Apoteker harus memberikan pengarahan terhadap masyarakat terkait fungsi-fungsi dari masing masing obat dan larangan pemakaian serta akibat yang bisa terjadi. Seperti halnya dengan adanya swanmedikasi. Apoteker harus membatasi apabila ada pasien yang membeli antibiotik, tidak memakai resep dari Dokter dan lebih ditekan kan lagi kepada pasien yang berkeinginan untuk swamedikasi. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Swamedikasi adalah pelayanan obat non resep kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri
Untuk memantapkan dan menegaskan pelayanan swamedikasi, pemerintah juga menetapkan jenis obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dengan membuat beberapa SK diantaranya: SK Menteri No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang obat wajib apotek. Obat-obat yang terdaftar pada lampiran SK tersebut digolongkan menjadi obat wajib apotek No. 1 yang selanjutnya disebut OWA No. 1. Karena perkembangan bidang farmasi yang menyangkut khasiat dan keamanan obat maka dipandang perlu untuk ditetapkan daftar OWA No.2 sebagai revisi dari daftar OWA sebelumnya. Daftar OWA No. 2 ini kemudian dilampirkan pada keputusan menteri kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993. Dari peraturan di atas dengan jelas diterangkan bahwa seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras tanpa resep dokter atau swamedikasi obat keras apabila obat yang diserahkan merupakan obat keras yang termasuk dalam OWA.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian merupakan undang-undang terbaru di dunia kefarmasian yang mengatur pekerjaan kefarmasian yang dibenarkan oleh hukum. Tujuan pemerintah membuat UU ini salah satunya adalah untuk memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian. Melihat apa yang terjadi di lapangan tentunya Apotek telah lalai dalam menerapkan UU ini. Penyerahan obat keras tanpa resep seperti halnya antibiotik tentunya telah melanggar aturan pemerintah dalam upaya melindungi pasien dalam memperoleh sediaan kefarmasian.

Rabu, 11 Juni 2014

Ini nih Aturan Pemakaian Obat yang benar!

Obat adalah racun dalam dosis yang tepat. Banyak orang berpendapat demikian, padahal racun itu sendiri berbahaya bagi tubuh. Oleh karena itu, cara memperlakukan obat pun tidak boleh sembarangan karena dapat menimbulkan efek yang membahayakan bagi tubuh, atau bahkan obat tidak berefek sama sekali karena penggunaan yang tidak benar. Namun, sayangnya di masyarakat masih banyak orang yang menyepelekan cara penggunaan obat yang baik dan benar dengan alasan yang beragam. 
Dalam penggunaannya, masing-masing obat memiliki sifat yang berbeda-beda sehingga cara mengonsumsinya pun berbeda antara satu obat dengan obat yang lain. Beberapa aturan penggunaan obat yang umum adalah:

1. Sebelum makan
Masih banyak orang yang salah kaprah dalam memaknai aturan ini. Diantara mereka kebanyakan memaknai aturan ini dengan meminum obat sebelum mengisi lambungnya dengan makanan. Padahal yang dimaksud sebelum makan itu adalah mengonsumsi obat pada saat lambung dalam keadaan kosong, yaitu sekitar 1 - 2 jam sebelum makan. Tujuan dari aturan ini adalah karena ada beberapa obat-obatan yang penyerapannya dilakukan pada saat lambung dalam keadaan kosong. Bisa jadi pada saat obat tersebut bertemu dengan makanan di lambung akan terjadi interaksi, sehingga dapat memengaruhi nasib obat tersebut dalam tubuh. Yang berbahaya adalah jika interaksi antara makanan dan obat tersebut menimbulkan efek toksik. Sebaiknya, sebelum meminum obat bertanyalah dahulu kepada dokter atau apoteker.

2. Sesudah makan
Bertentangan dengan aturan pakai sebelum makan, obat-obatan dengan aturan pakai sesudah makan harus diminum pada saat lambung terisi makanan, karena bisa saja obat mengalami interaksi yang menghasilkan efek berbahaya bagi tubuh. Contoh obat yang harus diminum sesudah makan adalah obat-obatan yang bersifat asam seperti asam mefenamat, dll. Vitamin C sebaiknya juga dikonsumsi pada saat lambung sudah terisi makanan, karena vitamin C bersifat asam, sehingga jika dikonsumsi sebelum makan dapat menimbulkan efek perih pada lambung karena vitamin C dapat meningkatkan asam lambung. Mengonsumsi obat sesudah makan tidak boleh lebih dari 2 jam setelah makanan terakhir masuk ke lambung, karena setelah waktu tersebut lambung sudah dalam keadaan kosong, sehingga sama saja dengan sebelum makan. Hal ini perlu diperhatikan mengingat masih banyak orang yang menyepelekannya.

3. Minum obat dengan susu, bolehkah?
Obat tidak boleh diminum bersama dengan susu. Pernyataan ini seperti sudah melekat erat di masyarakat. Kami akan mencoba meluruskan pernyataan tersebut. Sebenarnya tidak semua obat tidak boleh diminum bersama susu. Obat-obatan yang sudah pasti dilarang dikonsumsi bersamaan dengan susu adalah antibiotik seperti tetrasiklin, siprofloksasin, levofloksasin, dll. Mengapa dilarang? Susu adalah minuman yang mengandung mineral Kalsium. Jika diminum bersamaan dengan antibiotik, maka dapat membentuk senyawa yang tidak dapat diserap oleh tubuh, sehingga mengurangi efek antibiotik tersebut. Tidak hanya susu, namun juga suplemen yang mengandung Kalsium.

4. Minum obat dengan teh, boleh?
Nah, kali ini memang sebaiknya dihindari. Kenapa? Padahal banyak orang yang suka meminum obat dengan bantuan teh, karena dapat mengurangi rasa obat yang pahit di dalam mulut. Teh mengandung senyawa tanin yang memiliki efek mengurangi penyerapan di usus. Sebagian besar obat, setelah masuk ke dalam tubuh akan diserap di dalam usus halus. Sehingga jika seseorang mengonsumsi obat dengan teh dapat mengurangi penyerapan obat, pada akhirnya efek obat akan berkurang atau hilang. Cukup jelas bukan?

Pada dasarnya masing-masing obat memiliki karakteristik yang berbeda-beda yang menyebabkan perlakuan masing-masing obat juga berbeda. Demi keamanan dan pencapaian efek terapi yang sesuai dengan harapan, maka dalam mengonsumsi obat harus mengikuti setiap peraturan yang ada. Jika bingung, sebaiknya tanyalah kepada dokter atau apoteker yang lebih mengerti tentang pengobatan, sehingga dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan obat. Salam sehat! Semoga bermanfaat! ^^

Senin, 02 Juni 2014

WASPADALAH......!!!! STEVEN-JOHNSON SYNDROME MENGINTAIMU.



Apa sebenarnya Steven-Johnson Syndrome (SJS) ?
Mungkin sebagian masih asing dengan istilah penyakit ini. Penyakit ini sebenarnya memang jarang terjadi, namun nyatanya sesekali bisa dijumpai di sekitar kita. Gangguan ini sulit diprediksi sebelumnya. Yang lebih penting lagi, penyebabnya kadang adalah obat yang sering digunakan sehari-hari seperti obat turun panas parasetamol, obat penghilang rasa sakit golongan non-steroid, seperti diklofenak, piroksikam, juga antibiotika (yang paling sering golongan sulfa dan penisilin), dll. FDA di Amerika pun telah memberi edaran peringatan untuk berhati-hati terhadap risiko terjadinya SJS oleh parasetamol/asetaminofen.  Bisa dikatakan ini adalah salah satu bentuk “alergi” obat yang berat, namun berbeda dengan alergi yang biasa.
Syndrome sendiri artinya adalah sekumpulan gejala (symptom), di mana pada penyakit ini terdapat aneka gejala, mulai dari lesi merah di kulit, sariawan di rongga mulut, sampai luka lepuh di kulit dan alat genital, dll. Manisfestasi klinis gangguan SJS ini sangat bervariasi antar pasien, dari yang ringan sampai berat. Yang berat bisa cukup fatal dan mengakibatkan kematian, terutama jika terjadi komplikasi.
 
Nama Steven-Johnson merujuk pada nama dua orang dokter, pak Steven dan Pak Johnson yang pertama-kalinya mengidentifikasikan adanya syndrome ini. Penyebabnya pada umumnya tidak diketahui dan sulit diprediksikan sebelumnya, namun pada umumnya merupakan respon imun tubuh yang berlebihan terhadap zat asing. Hampir seperti reaksi alergi, tetapi bentuknya khas dan lebih berat. Secara patofisiologi, mekanisme terjadinya alergi tidak sama dengan mekanisme SJS, dalam hal antibodi yang terlibat dan mediatornya. Jika reaksi alergi biasa melibatkan antibodi imunoglobulin E (IgE), SJS melibatkan IgG dan IgM dan merupakan reaksi imun yang kompleks. Beberapa obat dilaporkan dapat menyebabkan reaksi SJS, terutama adalah obat-obat anti inflamasi non steroid (NSAID) dan obat antibiotik golongan sulfa. Selain itu unsur makanan, cuaca, infeksi (jamur, virus, bakteri) juga diduga dapat merupakan faktor penyebab. Susahnya, reaksi ini sulit untuk diprediksi sebelumnya jika belum kejadian.
Bagaimana pengatasannya?
Tidak ada obat yang spesifik untuk mengatasi SJS, sehingga pengobatannya adalah berdasarkan gejala yang ada. Istilahnya diberi terapi suportif, untuk mendukung dan memperbaiki kondisi pasien. Jika keadaan umum pasien cukup berat, maka perlu diberi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral melalui infus. Karena infeksi juga merupakan salah satu penyebab SJS terutama pada anak-anak, maka diberi pula antibiotik dengan spektrum luas, yang kemudian dilanjutkan dengan antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab.
Untuk menekan sistem imun, digunakan pula kortikosteroid, walaupun penggunaannya masih kontroversial, terutama bentuk sistemik. Contohnya adalah deksametason dengan dosis awal 1 mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Untuk gatalnya bisa diberi anti-histamin jika perlu. Untuk perawatan lesi pada mata diberi antibiotika topikal. Kulit yang melepuh ditangani seperti menangani luka bakar. Lesi kulit yang terbuka dikompres dengan larutan saline atau Burowi. Lesi di mulut bisa dirawat dengan antiseptik mulut. Dan jika ada rasa nyeri bisa diberikan anestesi topikal. Semua terapi ini akan diberikan oleh dokter sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Kesembuhan pasien sangat tergantung dari berat ringannya gejala yang muncul.
Pencegahannya?
Jika belum pernah terjadi, sulit untuk mencegahnya karena tidak bisa diprediksikan. Tetapi jika sudah pernah terjadi sekali saja, maka upayakan untuk mengenali faktor penyebab, dan sebisa mungkin menghindar dari faktor penyebab tersebut. Jika disebabkan karena obat, perlu dipastikan nama obat tersebut dalam nama generik, dan hindarkan penggunaan obat yang sama dalam berbagai nama paten yang ada. Jika perlu, tanyakan kepada apoteker macam-macam obat yang ada pada resep Anda. Contoh nama generik adalah parasetamol, dan obat ini bisa dijumpai dalam berbagai merk dagang, seperti : Panadol, Sanmol, Tempra, Thermorex, Paramex, Bodrex, dll. Kadang masyarakat tidak mengetahui nama generik obat dan hanya mengenal nama patennya sehingga hanya menghindari obat dengan nama paten tersebut, padahal bisa jadi obat pemicu SJS tersebut terdapat pula pada merk obat yang lain. Jika anda berobat ke dokter untuk suatu penyakit, sampaikan pada dokter bahwa anda sensitif dan pernah mengalami SJS dengan obat tertentu (sebut nama obatnya), agar dokter tidak meresepkan obat tersebut. SJS bisa saja terulang lagi jika terkena paparan bahan yang menjadi pemicu.