Rabu, 11 Juni 2014

Ini nih Aturan Pemakaian Obat yang benar!

Obat adalah racun dalam dosis yang tepat. Banyak orang berpendapat demikian, padahal racun itu sendiri berbahaya bagi tubuh. Oleh karena itu, cara memperlakukan obat pun tidak boleh sembarangan karena dapat menimbulkan efek yang membahayakan bagi tubuh, atau bahkan obat tidak berefek sama sekali karena penggunaan yang tidak benar. Namun, sayangnya di masyarakat masih banyak orang yang menyepelekan cara penggunaan obat yang baik dan benar dengan alasan yang beragam. 
Dalam penggunaannya, masing-masing obat memiliki sifat yang berbeda-beda sehingga cara mengonsumsinya pun berbeda antara satu obat dengan obat yang lain. Beberapa aturan penggunaan obat yang umum adalah:

1. Sebelum makan
Masih banyak orang yang salah kaprah dalam memaknai aturan ini. Diantara mereka kebanyakan memaknai aturan ini dengan meminum obat sebelum mengisi lambungnya dengan makanan. Padahal yang dimaksud sebelum makan itu adalah mengonsumsi obat pada saat lambung dalam keadaan kosong, yaitu sekitar 1 - 2 jam sebelum makan. Tujuan dari aturan ini adalah karena ada beberapa obat-obatan yang penyerapannya dilakukan pada saat lambung dalam keadaan kosong. Bisa jadi pada saat obat tersebut bertemu dengan makanan di lambung akan terjadi interaksi, sehingga dapat memengaruhi nasib obat tersebut dalam tubuh. Yang berbahaya adalah jika interaksi antara makanan dan obat tersebut menimbulkan efek toksik. Sebaiknya, sebelum meminum obat bertanyalah dahulu kepada dokter atau apoteker.

2. Sesudah makan
Bertentangan dengan aturan pakai sebelum makan, obat-obatan dengan aturan pakai sesudah makan harus diminum pada saat lambung terisi makanan, karena bisa saja obat mengalami interaksi yang menghasilkan efek berbahaya bagi tubuh. Contoh obat yang harus diminum sesudah makan adalah obat-obatan yang bersifat asam seperti asam mefenamat, dll. Vitamin C sebaiknya juga dikonsumsi pada saat lambung sudah terisi makanan, karena vitamin C bersifat asam, sehingga jika dikonsumsi sebelum makan dapat menimbulkan efek perih pada lambung karena vitamin C dapat meningkatkan asam lambung. Mengonsumsi obat sesudah makan tidak boleh lebih dari 2 jam setelah makanan terakhir masuk ke lambung, karena setelah waktu tersebut lambung sudah dalam keadaan kosong, sehingga sama saja dengan sebelum makan. Hal ini perlu diperhatikan mengingat masih banyak orang yang menyepelekannya.

3. Minum obat dengan susu, bolehkah?
Obat tidak boleh diminum bersama dengan susu. Pernyataan ini seperti sudah melekat erat di masyarakat. Kami akan mencoba meluruskan pernyataan tersebut. Sebenarnya tidak semua obat tidak boleh diminum bersama susu. Obat-obatan yang sudah pasti dilarang dikonsumsi bersamaan dengan susu adalah antibiotik seperti tetrasiklin, siprofloksasin, levofloksasin, dll. Mengapa dilarang? Susu adalah minuman yang mengandung mineral Kalsium. Jika diminum bersamaan dengan antibiotik, maka dapat membentuk senyawa yang tidak dapat diserap oleh tubuh, sehingga mengurangi efek antibiotik tersebut. Tidak hanya susu, namun juga suplemen yang mengandung Kalsium.

4. Minum obat dengan teh, boleh?
Nah, kali ini memang sebaiknya dihindari. Kenapa? Padahal banyak orang yang suka meminum obat dengan bantuan teh, karena dapat mengurangi rasa obat yang pahit di dalam mulut. Teh mengandung senyawa tanin yang memiliki efek mengurangi penyerapan di usus. Sebagian besar obat, setelah masuk ke dalam tubuh akan diserap di dalam usus halus. Sehingga jika seseorang mengonsumsi obat dengan teh dapat mengurangi penyerapan obat, pada akhirnya efek obat akan berkurang atau hilang. Cukup jelas bukan?

Pada dasarnya masing-masing obat memiliki karakteristik yang berbeda-beda yang menyebabkan perlakuan masing-masing obat juga berbeda. Demi keamanan dan pencapaian efek terapi yang sesuai dengan harapan, maka dalam mengonsumsi obat harus mengikuti setiap peraturan yang ada. Jika bingung, sebaiknya tanyalah kepada dokter atau apoteker yang lebih mengerti tentang pengobatan, sehingga dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan obat. Salam sehat! Semoga bermanfaat! ^^

Senin, 02 Juni 2014

WASPADALAH......!!!! STEVEN-JOHNSON SYNDROME MENGINTAIMU.



Apa sebenarnya Steven-Johnson Syndrome (SJS) ?
Mungkin sebagian masih asing dengan istilah penyakit ini. Penyakit ini sebenarnya memang jarang terjadi, namun nyatanya sesekali bisa dijumpai di sekitar kita. Gangguan ini sulit diprediksi sebelumnya. Yang lebih penting lagi, penyebabnya kadang adalah obat yang sering digunakan sehari-hari seperti obat turun panas parasetamol, obat penghilang rasa sakit golongan non-steroid, seperti diklofenak, piroksikam, juga antibiotika (yang paling sering golongan sulfa dan penisilin), dll. FDA di Amerika pun telah memberi edaran peringatan untuk berhati-hati terhadap risiko terjadinya SJS oleh parasetamol/asetaminofen.  Bisa dikatakan ini adalah salah satu bentuk “alergi” obat yang berat, namun berbeda dengan alergi yang biasa.
Syndrome sendiri artinya adalah sekumpulan gejala (symptom), di mana pada penyakit ini terdapat aneka gejala, mulai dari lesi merah di kulit, sariawan di rongga mulut, sampai luka lepuh di kulit dan alat genital, dll. Manisfestasi klinis gangguan SJS ini sangat bervariasi antar pasien, dari yang ringan sampai berat. Yang berat bisa cukup fatal dan mengakibatkan kematian, terutama jika terjadi komplikasi.
 
Nama Steven-Johnson merujuk pada nama dua orang dokter, pak Steven dan Pak Johnson yang pertama-kalinya mengidentifikasikan adanya syndrome ini. Penyebabnya pada umumnya tidak diketahui dan sulit diprediksikan sebelumnya, namun pada umumnya merupakan respon imun tubuh yang berlebihan terhadap zat asing. Hampir seperti reaksi alergi, tetapi bentuknya khas dan lebih berat. Secara patofisiologi, mekanisme terjadinya alergi tidak sama dengan mekanisme SJS, dalam hal antibodi yang terlibat dan mediatornya. Jika reaksi alergi biasa melibatkan antibodi imunoglobulin E (IgE), SJS melibatkan IgG dan IgM dan merupakan reaksi imun yang kompleks. Beberapa obat dilaporkan dapat menyebabkan reaksi SJS, terutama adalah obat-obat anti inflamasi non steroid (NSAID) dan obat antibiotik golongan sulfa. Selain itu unsur makanan, cuaca, infeksi (jamur, virus, bakteri) juga diduga dapat merupakan faktor penyebab. Susahnya, reaksi ini sulit untuk diprediksi sebelumnya jika belum kejadian.
Bagaimana pengatasannya?
Tidak ada obat yang spesifik untuk mengatasi SJS, sehingga pengobatannya adalah berdasarkan gejala yang ada. Istilahnya diberi terapi suportif, untuk mendukung dan memperbaiki kondisi pasien. Jika keadaan umum pasien cukup berat, maka perlu diberi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral melalui infus. Karena infeksi juga merupakan salah satu penyebab SJS terutama pada anak-anak, maka diberi pula antibiotik dengan spektrum luas, yang kemudian dilanjutkan dengan antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab.
Untuk menekan sistem imun, digunakan pula kortikosteroid, walaupun penggunaannya masih kontroversial, terutama bentuk sistemik. Contohnya adalah deksametason dengan dosis awal 1 mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Untuk gatalnya bisa diberi anti-histamin jika perlu. Untuk perawatan lesi pada mata diberi antibiotika topikal. Kulit yang melepuh ditangani seperti menangani luka bakar. Lesi kulit yang terbuka dikompres dengan larutan saline atau Burowi. Lesi di mulut bisa dirawat dengan antiseptik mulut. Dan jika ada rasa nyeri bisa diberikan anestesi topikal. Semua terapi ini akan diberikan oleh dokter sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Kesembuhan pasien sangat tergantung dari berat ringannya gejala yang muncul.
Pencegahannya?
Jika belum pernah terjadi, sulit untuk mencegahnya karena tidak bisa diprediksikan. Tetapi jika sudah pernah terjadi sekali saja, maka upayakan untuk mengenali faktor penyebab, dan sebisa mungkin menghindar dari faktor penyebab tersebut. Jika disebabkan karena obat, perlu dipastikan nama obat tersebut dalam nama generik, dan hindarkan penggunaan obat yang sama dalam berbagai nama paten yang ada. Jika perlu, tanyakan kepada apoteker macam-macam obat yang ada pada resep Anda. Contoh nama generik adalah parasetamol, dan obat ini bisa dijumpai dalam berbagai merk dagang, seperti : Panadol, Sanmol, Tempra, Thermorex, Paramex, Bodrex, dll. Kadang masyarakat tidak mengetahui nama generik obat dan hanya mengenal nama patennya sehingga hanya menghindari obat dengan nama paten tersebut, padahal bisa jadi obat pemicu SJS tersebut terdapat pula pada merk obat yang lain. Jika anda berobat ke dokter untuk suatu penyakit, sampaikan pada dokter bahwa anda sensitif dan pernah mengalami SJS dengan obat tertentu (sebut nama obatnya), agar dokter tidak meresepkan obat tersebut. SJS bisa saja terulang lagi jika terkena paparan bahan yang menjadi pemicu.