Berita Terkait
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kesehatan
Nafsiah Mboi mengakui pengawasan terhadap peredaran obat dan antibiotika di
Indonesia masih cukup lemah, sehingga dikhawatirkan muncul resistensi obat yang
membahayakan."Antibiotika hanya boleh dijual dengan resep dokter, dokter
pun harus memberikan antibiotika sesuai dengan penyakitnya dan dengan dosis
semestinya. Ini yang tidak terjadi, pelanggaran-pelanggaran ini sangat
disayangkan. Memang pengawasan perlu ditingkatkan," kata Menkes usai
pelantikan anggota Komite Farmasi Nasional di Jakarta, Selasa.Menkes mengatakan
penelitian sudah menunjukkan bahwa makin banyak terjadi resistensi terhadap
antibiotika yang membahayakan karena dapat membuatnya tidak efektif lagi untuk
mengobati penyakit."Ini memang telah ditindaklanjuti dengan berbagai
aturan tapi ternyata tidak dilaksanakan. Saya mengajak seluruh masyarakat,
seluruh jajaran kesehatan untuk betul-betul menaati peraturan yang ada dan
memberikan antibiotika hanya pada tempatnya," ujar Menkes.Edukasi
masyarakat disebut Menkes penting karena banyak penyalahgunaan obat dan
antibiotika itu dilakukan atas paksaan dari pasien.Namun seharusnya dokter dan
jajaran kesehatan lain tidak sembarangan memberikan obat dan antibiotika yang
seharusnya menggunakan resep.Menkes berharap organisasi profesi dapat
menegakkan aturan dengan tegas kepada para anggotanya.
Definisi
Antibiotik
Antibiotika
adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek
menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya
dalam proses infeksi oleh bakteri. Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya,
yang menggunakan racun seperti strychnine, antibiotika dijuluki "peluru
ajaib": obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik
tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya,
dan setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai
jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram
positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung
pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.
Antibiotika
dapat digolongkan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut dan susunan
kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika, dilihat dari target atau sasaran
kerjanya:
1.Inhibitor
sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penisilin, Polipeptida dan
Sefalosporin, misalnya ampisilin, penisilin G;
2.Inhibitor
transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone, misalnya rifampisin,
aktinomisin D, asam nalidiksat;
3.Inhibitor
sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan
Makrolida, Aminoglikosida, dan Tetrasiklin, misalnya gentamisin, kloramfenikol,
kanamisin, streptomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, eritromisin,
azitromisin;
4.Inhibitor
fungsi membran sel, misalnya ionomisin, valinomisin;
5.Inhibitor
fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida, misalnya
oligomisin, tunikamisin; dan
6.Antimetabolit,
misalnya azaserine.
Karena
biasanya antibiotika bekerja sangat spesifik pada suatu proses, mutasi yang
mungkin terjadi pada bakteri memungkinkan munculnya strain bakteri yang 'kebal'
terhadap antibiotika. Itulah sebabnya, pemberian antibiotika biasanya diberikan
dalam dosis yang menyebabkan bakteri segera mati dan dalam jangka waktu yang
agak panjang agar mutasi tidak terjadi. Penggunaan antibiotika yang 'tanggung'
hanya membuka peluang munculnya tipe bakteri yang 'kebal'. Oleh karena itu satu
dosis lengkap atau satu cure antibiotika harus dihabiskan semuanya, walaupun
kadang-kadang baru
Terkait
Penyalahgunaan Antibiotik
Beberapa
jenis antibiotik yang paling sering dipakai di masyarakat berikut ini:
1.Amoxicillin.Amoxicillin merupakan antibiotik golongan penicillin, lebih
spesifik lagi termasuk kelompok aminopenicillin seperti halnya jenis antibiotik
populer lainnnya yakni ampicilin. Penggunaannya sangat luas, mulai dari untuk
obati infeksi kulit, gigi, telinga, saluran napas dan saluran kemih
2.Cefadroxil.Cefadroxil
merupakan generasi pertama antibiotik golongan Cephalosphorin, yang cara
kerjanya hampir sama dengan Amoxicillin dan antibiotik lain di golongan
penicillin. Penggunaannya juga sama luas, mulai untuk mengobati dari infeksi
kulit hingga saluran kemih.
3.Erythromicyn.Erythromicin
merupakan antibiotika golongan makrolid yang sering diberikan pada pasien yang
alergi penicillin. Penggunaannya lebih luas dari penicillin maupun
cephalosphorin, sehingga sering dipakai sebagai pilihan pertama untuk pengobatan
pneumonia atipik.
4.
Ciprofloxacin.Ciprofloxacin merupakan antibiotik golongan floroquinolon, salah
satu jenis antibiotik paling mutakhir saat ini. Penggunaannya antara lain untuk
mengobati infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas (sinusitis, pneumonia,
bronkitis) dan juga infeksi kulit.
5.
Tetrasiklin.Di kalangan pekerja seks, tetrasiklin cukup populer karena jenis
antibiotika ini paling sering jadi pilihan utama untuk mengobati infeksi
kelamin seperti chlamydia dan gonorrhea atau kencing nanah. Penggunaan
antibiotik jenis ini mulai dibatasi, karena memicu masalah resistensi yang
membuat kuman gonorrhea jadi kebal antibiotik.
Dalam
prakteknya, apoteker sering menyalahgunakan haknya dengan melakukan swamedikasi
obat keras non OWA. Salah satu yang sering dijual adalah obat-obatan
antibiotik. Apoteker dan masyarakat sendiri beranggapan antibiotik merupakan
obat yang sudah lumrah dan aman-aman saja dikonsumsi, meskipun tanpa resep
dokter. Padahal dalam kemasan antibiotik itu sendiri sudah jelas terlihat tanda
huruk K dalam lingkaran merah yang menandakkan itu merupakan obat keras yang
tidak boleh diperjualbelikan dengan bebas. Obat keras (dulu disebut obat daftar
G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk
memperolehnya harus dengan resep dokter, memakai tanda lingkaran merah bergaris
tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam
golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta
obat-obatan yang mengandung hormon (obat diabetes, obat penenang, dan
lain-lain). Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa
berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan
mematikan.
Untuk
mengatasi hal tersebut, Apoteker harus memberikan pengarahan terhadap
masyarakat terkait fungsi-fungsi dari masing masing obat dan larangan pemakaian
serta akibat yang bisa terjadi. Seperti halnya dengan adanya swanmedikasi. Apoteker
harus membatasi apabila ada pasien yang membeli antibiotik, tidak memakai resep
dari Dokter dan lebih ditekan kan lagi kepada pasien yang berkeinginan untuk
swamedikasi. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan
tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT)
dan obat bebas (OB). Swamedikasi adalah pelayanan obat non resep kepada pasien
yang ingin melakukan pengobatan sendiri
Untuk
memantapkan dan menegaskan pelayanan swamedikasi, pemerintah juga menetapkan
jenis obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dengan membuat beberapa SK
diantaranya: SK Menteri No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang obat wajib apotek.
Obat-obat yang terdaftar pada lampiran SK tersebut digolongkan menjadi obat
wajib apotek No. 1 yang selanjutnya disebut OWA No. 1. Karena perkembangan
bidang farmasi yang menyangkut khasiat dan keamanan obat maka dipandang perlu
untuk ditetapkan daftar OWA No.2 sebagai revisi dari daftar OWA sebelumnya.
Daftar OWA No. 2 ini kemudian dilampirkan pada keputusan menteri kesehatan No.
924/MENKES/PER/X/1993. Dari peraturan di atas dengan jelas diterangkan bahwa
seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras tanpa resep dokter atau
swamedikasi obat keras apabila obat yang diserahkan merupakan obat keras yang
termasuk dalam OWA.
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian
merupakan undang-undang terbaru di dunia kefarmasian yang mengatur pekerjaan
kefarmasian yang dibenarkan oleh hukum. Tujuan pemerintah membuat UU ini salah
satunya adalah untuk memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam
memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian. Melihat
apa yang terjadi di lapangan tentunya Apotek telah lalai dalam menerapkan UU
ini. Penyerahan obat keras tanpa resep seperti halnya antibiotik tentunya telah
melanggar aturan pemerintah dalam upaya melindungi pasien dalam memperoleh
sediaan kefarmasian.